Pagi ini, aku mencoba menulis mengenai keadaan politik Indonesia sekarang. Sayangnya, tidak lama setelah paragraf keempat, tulisanku menyadarkan bahwa aku tak baik dalam menulis hal-hal yang sama liciknya seperti politik. Mencoba melakukan metafora pun aku merasa jijik, sejijik aku melihat para anggota dewan legislatif termemalukan yang baru saja memenangkan suara. Kasihan negeri ini, sedang dikuasai oleh orang-orang yang mungkin memiliki niat baik namun menjadi jahat di muka ketika sudah berada di komunitas penjahat terbesar di dunia, politikus.
Ada yang bilang kalau betapa bodohnya kita apabila tidak peduli dengan keadaan politik di negeri sendiri karena pangan, sandang, dan papan yang kita nikmati sekarang diberikan juga dari para politikus yang berpikir keras untuk kemudahan itu semua. Apa benar kemudahan yang mereka pikirkan itu untuk rakyat? Bukan untuk kemudahan aliran dana ke kantong mereka sendiri? Sebagai manusia yang juga memiliki nafsu namun menyerukan hukuman seumur hidup kepada koruptor, aku pun masih berpikir bagaimana caranya agar aku mendapatkan uang lebih dari kegiatan-kegiatan yang sedang dilakukan. Hanya manusia 3/4 dewa yang bisa menjadi politikus tersuci di muka bumi ini.
Sambil menikmati masa-masa pengangguran, aku mengisinya dengan mengerjakan hutang-hutangku terhadap kampus agar ijazah cepat keluar. Padahal, keluar ijazah pun aku belum pergunakan untuk melamar pekerjaan yang sedang IN di TV, internet, bahkan toko fotokopian yang menjual buku soal-soal latihannya. Selesai melunasi hutang-hutang tersebut, entah ada angin dari mana yang seketika membuatku ingin dikelilingi oleh buku-buku. Keesokan harinya aku langsung pergi ke salah satu toko buku di perpustakaan universitasku. Tidak terlalu indah rasanya, hanya beberapa buku saja yang benar-benar menarik perhatianku dan tetap Murakami selalu berhasil menggoda imanku, namun tidak dompetku karena hasrat pun saja sudah tak ada. Lalu dua hari kemudian, aku mengajak Ming pergi ke salah satu toko buku ternama yang kata seorang temanku memiliki koleksi sastra terlengkap di Jakarta. Benar, benar, benar. Walaupun mungkin tidak akan selengkap di negera tetangga, tapi toko buku ini sukses membuat aku bergumam "ingin beli buku" hampir ratusan kali namun hanya, ya, sekitar 10 kali ku ucapkan depan Ming yang membalasnya dengan "Amin".
Sinting memang dunia terutama negeri ini. Sejak dahulu kala, hanya orang-orang yang berada di kelas menengah ke atas lah yang mampu mendapat pengetahuan lebih. Bukan karena dibekali otak yang lebih cerdas karena asupan makanan mereka, tetapi modal yang begitu berlimpah hingga mereka bisa mengeluarkan banyak uang untuk membeli buku dan tak takut tiba-tiba uang mereka habis ketika mereka sedang membaca. Bahkan kalau bisa, mereka meminta penulis kesukaan mereka untuk menuliskan biografi tentang kehidupan mereka yang intelek. Bahkan seorang Leo Tolstoy yang meneriakkan kesetaraan sosial dan ekonomi pun bisa terdengar gaungnya karena ia memiliki relasi kuasa yang kuat, konglomerat. Max Havelaar yang menceritakan tentang kekejaman kolonialisme sendiri pun ditulis bukan oleh seseorang yang lahir dari golongan korban-korban utama kolonialisme. Multatuli seorang pejabat yang hanya karena berbeda pandangan saja akhirnya menjadi korban cameo dalam kisah kolonialisme. Namun karena, kembali, ia adalah seorang mantan pejabat dan bisa dipercaya kisahnya sebab ia terdidik, ia mendapat sorotan dari bidik kamera. Mereka contoh-contoh kecil si kaya pembangkang yang akhirnya dihormati oleh dunia, dan ya aku termasuk di dalamnya. Ya, ini semacam contoh intelek para bourgeois bohemians.
Untungnya, banyak orang-orang yang mulai sadar bahwa membaca buku tidak harus membelinya saat masih terbungkus plastik rekat. Toko-toko buku bekas pun muncul di mana-mana dengan sumbangan-sumbangan buku dari pemilik lamanya yang tidak menginginkannya lagi. Ini semacam surga bagi para penikmat buku. Namun sayang disayang, nasibku pun masih sama seperti ketika aku memasuki toko buku resmi. Hanya bisa melihat tak bisa membawa pulang. Walaupun sudah bisa membawa pulang, buku yang dicari sudah tidak ada. Sayang malang nasib ini. Kata seorang dosenku, "di rumah saya banyak buku, tapi banyak yang belum saya baca. Yang penting ada dulu, kali-kali berguna". Oh, Pak! Nikmatnya menjadi anda yang bisa membeli buku tanpa harus memiliki keinginan saat itu juga untuk membacanya. Kalau saya punya kemampuan finansial yang sudah stabil, tiap bulan mungkin sudah ada 10 buku yang saya bawa pulang dan menumpuk di atas meja saya, Pak!
Modern lagi, sudah banyak buku yang dipindahkan ke format digital. Alhamdulillah bisa unduh gratis, tapi masyaallah capeknya mata ini harus membaca ribuan kata di layar super terang penemuan abad 20 yang ada di depan sekarang. Lalu beberapa orang mengatakan, "pakai kindle saja, cahayanya seperti layaknya membaca buku di atas kertas. atau iPad/tab saja sehingga bisa masuk file-file lainnya." Terima kasih atas saran-sarannya, kembali aku harus mengeluarkan uang lebih banyak lagi dan mata tetap menjadi lelah karena si layar buatan manusia tersebut. Beruntung aku berkuliah di ruang publik yang mendukung kegiatan perkuliahan seperti fotocopy dan mencetak buku-buku. Ya, tetap uang yang dibutuhkan untuk menjadikan buku-buku 2D itu menjadi 3D.
Sejak keinginan untuk membaca semakin bertambah, aku mulai tersadar bahwa aku harus melakukan sesuatu untuk mendapatkan uang. Keadaan butuh uang seperti inilah yang mempermudah runtuhnya idealisme seseorang akan hidup yang damai tanpa beban materi gaya dan cara hidup. Itulah yang terjadi terhadap para anggota dewan yang sedang mematuk-matuk jas lawannya di depan meja besar ketua. Inginnya membela rakyat tapi harus kalah karena kuasa modal tertinggi di arena. Bohong bila mereka berjanji menyerahkan hidup mereka untuk keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Bohong. Untuk membekali kepala mereka saja, mereka butuh modal. Apalagi dengan gelar S.H. atau S.E., dana yang dikeluarkan jauh lebih banyak ketimbang yang bergelar S.Hum seperti aku. Untungnya Fadli Zon bisa mengakali gelar S.S.nya dengan menulis dalam arena politik yang aliran uangnya cepat. Cerdik memang dia.
Uang, uang, uang, dan uang. Di mulai dari kepingan logam hingga akhirnya menjadi lembaran kertas warna-warna dengan angka "0" di sudutnya. Siapapun penemunya, ia adalah orang paling memiliki nafsu tertinggi di dunia ini. Nafsu untuk mempermudah transaksinya dan menjadi untung secepatnya tanpa harus mengukur dan menimbang logam-logam emas, menciumi dan mengecek kesegaran sayuran, dan mereka-reka nilai yang seimbang dengan barang untuk ditukarkan.
Selamat beruang, Masyarakat Indonesia!
Semoga uang mau berada di kantongmu!
Baru saja aku semakin kesal dengan sms pengajuan kredit. KAMPRET UANG KHAYALAN!