society: crazy is a jinx

Tristram Hillier: Alcañiz, 1961

Seorang Carl Gustav Jung pernah berkata bahwa kegilaan bukanlah hal yang harus ditakuti dan disembuhkan. Kegilaan seharusnya diterima dan dieksplorasi lebih dalam karena memberikan warna baru untuk masyarakat mono aturan.

Sayang... sepertinya pemikiran Jung itu hanya berlaku untuk orang-orang kaya saja hingga saat ini. Hanya orang-orang yang memiliki kapital (entah) sosial, simbolik, atau ekonomi yang diberikan kesempatan untuk menerima dan menjelajahi kegilaannya. Berapa banyak TV menayangkan berita seorang anggota keluarga yang tinggal di daerah pinggiran atau perkampungan dipasung karena gila? Tidur beralaskan tikar     bahkan hanya semen     dengan kaki dirantai dan diberi makan di piring besar selayaknya hewan. Apa itu disebut pemberian kebebasan untuk mengeksplorasi kegilaan mereka? Tidak. Itu malah hasil dari represi masyarakat yang menuntut mereka untuk "kembali" menjadi seorang masyarakat yang "normal" itu.

"Ih! Lihat orang gila! Bisa sial abis ini!"
itu celetukan ibuku tiap kali ia tak sengaja melihat orang gila di pinggir jalan dari dalam mobilnya. Aku tidak pernah bisa menerima nalar dari melihat orang gila dan menjadi sial setelahnya. Ada yang salah dari pendapat ibuku ini dan jujur aku kesal tiap kali beliau harus berkata seperti itu. Untungnya ada seorang temannya berkata, "Kenapa sial? Dia gila bukan karena dirinya, tapi pikiran masyarakat yang membuatnya jadi gila. Dia tidak salah apa-apa, kok. Ini kesalahan sistem masyarakat." Tapi tetap ibuku tak bisa menerima itu dan menganggap pokoknya orang gila itu pembawa sial.

Coba kita jabarkan bagaimana ibuku bisa menjadi sial setelah melihat orang gila (menurut pendapatku): situasinya adalah ketika ibuku sedang mengendarai mobilnya di jalan raya. Lalu ibuku melihat orang gila di pinggir jalan dan bergidik. Dia merasa geli dan merasa jijik dengan penampilan orang gila yang kumal dan bahkan kadang tidak berbusana. Lalu di kepalanya, ibuku akan berpikir, "dasar orang gila, ga punya rasa malu. Bisa-bisanya dia pamer alat kelaminnya di depan umum. Itukan memalukan. Gantul-gantul. Hiii. Masa orang-orang di situ ngga ada yang mau kasih pakaian sih... Ah, pasti udah ada yang ngasih, tapi mana mau orang gila itu pakai bajunya. emang kan dia udah gila... Hiii... Kemana lagi keluarganya, pasti ga mau diterima lagi karena dia... astagfirullah!" dan ibuku hampir saja     atau bahkan sudah     menabrak orang yang sedang menyebrang di depannya. Ibuku saat itu pasti langsung menolong sang penyebrang dan mengurusnya ke rumah sakit. Semuanya akan berjalan seperti seharusnya hingga nanti ada orang yang menanyakan urutan cerita sampai dia bisa menabrak orang dan pasti akan keluarlah ucapan, "Ini gara-gara liat orang gila tadi di pinggir jalan. Sial kan!"

Apa hubungannya orang gila itu dengan kejadian menimpa ibuku? Bahkan orang gila itu tak tahu apa-apa tentang kejadian tersebut. Kejadian itu bukan ciptaan dari orang gila melainkan hasil dari pikiran ibuku sendiri. Ketika satu ide muncul dan omongan masyarakat meliputi ide tersebut, kedua hal akan saling berkaitan membentuk rantai yang panjang dan ketika rantai sudah hampir mencapai ujungnya akan muncul sebuah bola besi yang menghentikan itu semua. Namun sayang, bola besi itu dianggap seperti bentuk kesialan yang berasal dari orang lain bukan dari dirinya sendiri. Apabila mengacu pada bentuk pertahanan diri Freud, ibuku sedang melakukan proyeksi dengan menyalahkan si orang gila yang maha tidak mengetahui kejadian tersebut. Bagaimana kalau yang terjadi sebaliknya? Ibuku hanya melihat, lalu tidak mempedulikannya, tidak berpikiran yang aneh, dan fokus dengan jalan raya di depannya. Tidak ada yang menjadi korban bukan?

Coba ingat-ingat, orang gila mana yang dianggap sial sambil mengendarai kendaraan berlapis emas? orang gila mana yang kamu ledeki, kamu hina, kamu permalukan yang memakai perhiasan emas dari ujung rambut hingga ujung kaki? Pernah kamu menganggap orang-orang kaya itu sebagai orang yang sakit jiwa dan harus "dinormalkan" kembali agar bisa bergabung bersama kita masyarakat biasa. Jarang. Nyaris semua orang akan mengatakan "Ah, sudahlah. Dia punya uang. Dia terkenal. Dia anaknya si pemilik Samudera Hindia." Sementara ada seorang pemuda/pemudi kampung yang "sedikit" melenceng dari masyarakat karena pemikirannya lalu dibawa ke dukun/orang pintar/pak haji untuk disucikan jiwanya. Apabila tidak berhasil, ia lantas dibawa ke dokter untuk diberi penenang. Lagi-lagi tidak bisa menjadi tenang, dosisnya semakin ditinggikan. Daripada menyusahkan orang, ia dikurung dan diberi makan seadanya kalau dia tidak mau merubah sikapnya. Ia berusaha tapi segala tekanan itu malah makin membuatnya dianggap semakin gila. Gila lalu dikurung, diberi obat, diberi makan sekedarnya, dipasung, dan disiarkan di TV.

Mungkin akan ada yang mengatakan, "Ya, namanya juga orang kampung. Pengetahuannya sedikit. Mereka lebih percaya sama yang klenik dahulu baru yang medis. Kita kan orang kota, sudah jauh lebih berpendidikan dan bisa menerima tingkah laku aneh orang masa kini." Sayangnya, fenomena menormalkan individu itu masih terjadi di kalangan masyarakat menengah.

Jika aku harus mendefinisikan masyarakat menengah dalam tulisan ini, maka aku akan menjelaskannya sebagai sekelompok orang yang menganggap dirinya sudah beradab dengan berpendidikan tinggi atau memiliki pekerjaan yang dianggap kelompoknya baik dan mendefiniskan status orang lain berdasarkan tingkat pekerjaan/pendidikan yang ia miliki. Pada kelompok masyarakat inilah fenomena menormalkan individu secara kasat mata terjadi kian pesat. Di dalam kelompok ini, memang tidak ada tingkah laku ekstrim seperti pergi ke dukun dan melakukan pemasungan apabila segala usaha yang mereka lakukan itu tidak berhasil. Prosesnya juga tidak terang-terangan dengan mengatakan, "kamu gila! memalukan!". Tidak. Mereka sadar bahwa pernyataan seperti itu malah akan membuat individu yang tidak normal itu malah menjauhi mereka. Dengan segala bekal pendidikan tinggi yang mengajarkan mereka bagaimana cara berkomunikasi dan bernegosiasi dengan memberikan bukti-bukti kelak, mereka menegur individu dengan cara yang lebih halus. Entah seperti memberikan sebuah buku pertolongan psikologis, mengajak mengikuti seminar ini-itu, ataupun terkadang bahkan meminta tolong seorang temannya baru memiliki gelar S. Psi. untuk berdialog diam-diam. Reaksi dari setiap individu yang sedang dinormalkan itu pasti berbeda-beda. Ada yang langsung menerima dan mau merubah diri, ada yang menolak tetapi diam-diam mengikuti, ada yang mengiyakan tetapi tidak memasukan itu ke dalam kepala sama sekali, dan ada yang terang-terangan menolak di depan maupun di belakang. Yang menarik bukanlah tentang siapa individu yang sedang dinormalkan itu (normalized individual) tetapi siapa atau apa yang menjadi fixer. Orang-orang menengah tadi pastinya akan memberikan bantuan-bantuan kepada normalized individual yang menurut mereka baik dari sudut pandang kelompoknya sendiri. Ya, kenapa kelompok, karena para orang menengah ini sudah disadarkan tentang adanya think before you act dengan berdiskusi terlebih dahulu bersama orang lain. Mereka pun sebenarnya sadar bahwa mereka tidak sempurna dan tetap membutuhkan bantuan orang lain     yang tentunya satu pemahaman dengan mereka. Mungkin bisa diperkirakan hanya 30%   atau bahkan kurang   saja yang mau berdiskusi dengan orang di luar arenanya dan mau mengikuti pendapatnya. 70% orang menengah tersebut nantinya akan memberikan masukan-masukan kepada normalized individual berdasarkan pendapat ia dan kelompok terbesarnya tanpa mempedulikan dari mana asal normalized individual ini. Sehingga, orang menengah ini melakukan opresi kasat mata bersama kelompoknya kepada normalized individual yang mereka sendiri tidak tahu apakah tekanan itu baik atau tidak hasilnya kepada objeknya. Saat itulah normalized individual yang menjadi objek penolak opresi tersebut akhirnya dianggap keras kepala dan butuh penanganan lebih lanjut yakni psikolog atau psikiater atau ahli-ahli lainnya. Apabila segala terapi masih gagal, orang-orang menengah itu akan mendukung normalized individual untuk mengambil tindakan yang kemudian hari menjadi adiktif dan perlahan-lahan merusak diri normalized people hingga ia merasa dipasung seperti pemuda/pemudi kampung yang melenceng.

Tindakan-tindakan penormalan tidak hanya dalam bentuk psikologis atau klinis saja, tetapi juga pembentukan ulang bentuk tubuh manusia yang    ekstrimnya    dianggap abnormal seperti terlalu gendut atau terlalu kurus lalu menyuruh yang gendut untuk diet dan yang kurus untuk kasih sumpelan di bra dan celana dalamnya. Menyarankan orang yang dianggap intelek namun introvert untuk ikut sekolah kepribadian atau bahkan mendaftarkan diri dan terlibat dalam ajang pencarian keganteng/kecantikan.

Tanpa disadari orang-orang menengah ini sebenarnya melakukan hal yang sama dengan orang-orang yang mereka anggap kampung atau tertinggal. Mereka merasa normalized individual harus direstorasi kembali agar layak masuk ke dalam lingkungan masyarakat tersebut. Sayangnya, mereka memiliki batas dengan orang atas yang mereka agungkan. Bukan orang atas yang membatasinya tetapi orang menengahlah yang membuat batas. Batas bahwa segalanya menjadi legal ketika kamu adalah orang-orang beruntung yang lahir/besar di arena kapital. Para kaum menengah membiarkan saja orang atas mengeksplorasi kegilaan mereka, sementara menengah memberikan fixer kepada normalized individual yang akhirnya menimbulkan depresi baru.




Entah sampai kapan orang pas-pasan tidak diberi kesempatan untuk mengeksplorasi dirinya. Kadang aku curiga, orang menengah adalah alat orang atas agar normalized individual ini tidak mengacaukan zona nyaman mereka. Normalized people pas-pasan dituntut untuk memiliki banyak uang agar mereka bisa mencintai dan menghargai dirinya kelak ketika mereka sudah punya uang banyak selagi sebelumnya mereka diopresi oleh masyarakat agar terpisah dengan cita-citanya.

soseiti ye o so krul.