Sabana Fried Chicken


"Goreng yang garing, ya. Biar lebih krenyesss..."
Siapa yang tidak suka ayam goreng? Apalagi kulitnya dikategorikan sebagai bagian paling istimewa bagi sebagian besar orang    bahkan mungkin hanya 30% penduduk dunia tidak menyukai kulit ayam, itupun karena alasan kesehatan, i wanna live with you then. Salah satu restoran cepat saji yang terkenal dengan sajian ayam gorengnya tiba-tiba menjadi simbol dari ketulusan cinta seseorang. Seseorang yang layak dinikahi adalah yang mau memberikan kulit ayam goreng restoran cepat saji tersebut kepada pasangannya (yang tentu menyukai kulit ayam). Semacam tanda ia rela berkorban demi membahagiakanmu. oh, life in disney princess tales.

Kegaringan kulit ayam itu tidak hanya menjadi simbol cinta sebesar lautan, tetapi juga menjadi metafora dari kegiatan dunia kesenian, kesusasteraan, dan bahkan banyak hal lainnya untuk menjadi terkenal. Tak bisa kita mengelak dari proses goreng-menggoreng sebuah karya. Ini proses penting bagi ayam yang sudah dibumbui untuk nantinya bisa nikmat di mulut konsumen. Sementara konsumen tidak tahu bahwa ayam yang mereka makan adalah ayam tiren busuk dan membiru...

Tidak terlalu lama sebenarnya aku mengenal istilah goreng-gorengan. Istilah ini muncul ketika aku berada bersama teman-teman yang kebetulan bergelut di dunia seni rupa. Semenjak mengenal fenoman penggorengan ini, ada semacam renungan seketika saat aku memikirkan kembali tentang karya-karya seni dan sastra yang aku nikmati sebelumnya. Semuanya menjadi hambar.

Coba ingat-ingat, berapa banyak buku yang kalian beli di toko buku karena berada di rak "Best Seller" atau "New Arrival" dengan segambreng kutipan pujian dari majalah A-B-C atau penulis X-Y-Z yang super terkenal itu. Lalu, berapa banyak seniman yang kalian rasa hebat karena review sebuah media tentang pameran yang diselenggarakan dianggap sukses dan mutakhir karya-karyanya. Seseorang dianggap sebagai penulis atau seniman alternatif, melawan arus, 'jujur', apa adanya, dan berasal dari dunia baru yang tidak pernah dilihat sebelumnya. Ya, segala kosakata-kosakata aneh dikeluarkan dalam tiap ucap sang kurator agar membuat karya yang ia tulisan    bahkan tulisannya sendiri    agar dianggap berbeda dari yang lainnya.

Sadarkah kita bahwa selama ini kita dimanipulasi oleh kata? Oh, Derrida.

Tidak. aku tidak akan membahas apa atau siapa itu Derrida. Ia hanya seorang filsuf posmodern asal Prancis yang tidak merasa sakit ketika kulitnya melepuh tersiram kopi panas. "Aw!" hanyalah syllable dari proses kerja otak manusia. Bukan, bukan sakit. Ingat itu. throw him lot of hot coffee or tea or milk and even lava!

Tulisan ini hadir di sini karena bosa mendengar keomongkosongan orang yang mengatakan "air hujan itu jernih, mereka lah penyuci jiwa". YA! Pasti orang-orang itu memiliki rumah yang sempurna dengan kekuatas atap yang tiada tara sehingga tidak pernah melihat air hujan yang ditampung dalam ember transparan. Betapa kata-kata sudah membohongi isi kepala manusia hingga tidak melihat kenyataan yang tidak sebahagia sebuah kalimat. Pernah aku mengikuti sebuah kelas dengan tajuk "Tubuh dalam Budaya". Kelas itu memperlihatkan bagaimana tubuh biologis manusia divermak habis-habisan hingga menjadi tubuh budaya. Dimulai dari abad pertengahan proses vermak ini muncul dari keinginan manusia untuk menjadi sempurna karena dikatakan dalam kitab-kitab agama bahwa manusia diciptakan jauh lebih sempurna dari hewan     biarkan malaikat di atas sana, kita sedang membicarakan bumi.  Kita berbeda dari hewan-hewan "buruk rupa" yang hanya mengikuti nafsu dasar mereka. Manusia diberikan otak untuk bekerja lebih baik ketimbang hewan buas. Dari kata-kata dalam kitab tersebutlah, manusia yang mampu membaca merasa dirinya superior. Para rohanian yang menjadi panutan dengan penguasaannya tentang ilmu agama, pergi ke seluruh penjuru dunia bahwa manusia berada di atas segala-galanya di bumi pertiwi ini. Mengatakan bahwa manusia sempurna. Menggambarkan kemolekan tubuh manusia dalam tiap-tiap gambar yang dilukiskan para seniman. Tidak terdengar luka atau goresan dalam gambaran seorang manusia. Bahkan ada yang mengatakan bahwa manusia adalah representasi dari penampakan Tuhan, yang Maha Sempurna. Manusia mana yang tidak terlena mendengar kesempurnaan dirinya tersebut? Segala puji-pujian masuk ke telinga dan diproses oleh otak hingga kalimat-kalimat tersebut tertanam dalam sel otak mereka yang kelak diwariskan kepada generasi penerusnya. Saat itu, tidak ada yang mau melihat keadaan dirinya sendiri. Keadaan dirinya sendiri yang sebenarnya. Apa yang ada di dalam tubuhnya. Melihat darah yang keluar dari jari sendiri saja mereka menjerit histeris.

Hingga akhirnya, para manusia cikal bakal ilmuwan mulai bengah dengan ajaran-ajaran agama tersebut. Mereka mengatakan bahwa manusia tidak sesempurna yang dikatakan para rohanian. Manusia pada dasarnya sama seperti hewan, hanya saja berjalan dengan dua kaki dan memiliki otak yang lebih berguna dibandingkan hewan. Para ilmuwan ini mulai terang-terangan ketika memperlihatkan isi tubuh manusia di khalayak umum dengan membedah mayat agar terlihat isi perutnya. 

Cukup tersadar sepertinya manusia-manusia jelmaan Tuhan tersebut ketika melihat isi perut seorang pidana dipertontonkan di lapangan luas. Hingga akhirnya kini manusia itu sadar ketidaksempurnaan mereka, dan ingin menutupinya dengan kesempurnaan tiada tara.

Berhenti kita membahas kuliah pembuka kelas tersebut. Sekarang aku ingin sedikit memetik daun-daun besar dari pohon tersebut: keindahan, kata-kata, dan penguasa. Hey, Foucault!

Manusia akan lebih memercayai dan mendengar tiap ucapan dari seseorang yang diberi gelar dalam kelas penguasa. Siapapun yang memiliki gelar tersebut dianggap sudah lebih pintar dari para manusia yang dikalaskan bawahan. Struktur terus berjalan hingga kini, namun perbedaannya adalah struktur tersebut tidak seketat ketika zaman feodal. Sekarang, manusia kelas bawahan bisa melejit hingga berada di kelas penguasa. Tidak perlu menjadi ksatria dan menikahi putri seorang raja. Ya, asalkan dapat bersosialisasi dengan tepat di arena dengan kapital-kapital yang kuat. Sesederhana itu sebenarnya. Sayang, kebanyakan penguasa lebih senang bergaul dengan sesama penguasa. Dalam lingkungan pergaulan itu juga tidak terjalin ikatan yang murni karena alasan kemanusiaan, tetapi lebih kepada keuntungan pribadi agar ia bisa sintas di belantara liar. Kesintasan ini dibuktikan dengan tertulisnya nama mereka di koran dan televisi atau terdengar di radio. Apalagi bila nama itu dibarengi dengan penjelasan tentang nilai positif mereka. sempurna!

"A.. adalah seorang penulis yang tiada pernah ada di bumi pertiwi ini!"
"B... pelukis dengan pesona karya yang tidak pernah dilihat manusia di dunia ini!"
"C... seniman, budayawan, dan penulis sastra termahsyur. multitalenta. bahkan ia akan mengeluarkan albumnya saat ini!"

Hebat bukan para juru ulas tersebut menceritakan manusia-manusia yang sudah atau sedang menuju arena penguasa tersebut? Tentunya sang juru ulas juga bukan orang biasa. Mereka juga telah diulas oleh para juru pendahulunya. Para pembaca dan penikmat pastinya hanya ingin mendengar celotehan juru ulas yang sudah terakreditasi.

Sayangnya, akreditasi tersebut tidak sehebat yang kita bayangkan.
Akan ku lakukan apapun untukmu, asalkan aku senang...

Sebagai seseorang yang bergelut dalam dunia seni dan sastra, aku sendiri tidak akan lepas dari proses penggorengan tersebut. Bahkan aku sendiri sadar butuh wajan yang tidak akan berkarat dengan minyak goreng kelas internasional yang lalu dipanaskan dengan kompor teknologi mutakhir sehingga aku tergoreng dengan baik. Agar apa yang aku hasilkan dapat dinikmati oleh banyak orang.

Tulisan ini sekedar ingin membuat kita    ya, termasuk diriku sendiri    untuk sadar bahwa air hujan tidak sejernih yang dikatakan para pujangga. Tetap ada kotoran-kotoran yang ikut bersamanya. Akan tetapi tidak selamanya kotoran itu merusak bumi ini, ada beberapa makhluk hidup yang membutuhkan kotoran-kotoran itu untuk bertahan hidup dan bahkan ternyata kotoran-kotoran itu merupakan hal baru yang dapat merekahkan bunga-bunga baru. Proses 'pemanfaatan kotoran' itu bisa dimulai apabila kita bisa sedikit demi sedikit lebih kritis dalam menanggapi sebuah karya. Jangan hanya karena disebut sebagai "New York Times Bestseller" lantas langsung terlena begitu saja dengan sebuah karya tulis. Beberapa kali aku mendapatkan buku sampah hanya karena sebutan tersebut. Tapi menariknya, karena kebetulan aku memiliki cukup ilmu untuk mengkaji sebuah karya, buku-buku itu bisa ku kaji ulang dan menjelaskannya dengan pisau ilmiah sehingga terlihat kementahannya. YAP, aku sendiri penggoreng tersebut :'''') 


Kulit ayam yang tergoreng sempurna dengan warna coklat keemasan itu memang nikmat tiada tara. Sungguh anugrah Tuhan yang tak bisa ditolak.
Asal kau tahu bumbu yang pas, etalase mini Ayam Sabana bisa sekelas KFC.




picture credit:
http://thebookstudio.wordpress.com/2013/06/19/change-the-view-moma/